The Bitches VI
Dari bagian 5
Dildo yang basah kuyup oleh cairan vagina Bu Retno itu disumpalkannya
ke mulutku. Kudapatkan sensasi birahi yang bukan main hebatnya.
Kujilati dildo bekas nonok Bu Retno. Cairan birahi yang masih menempel
pada batang itu kutelan habis membasahi tenggorokanku. Kemudian oleh
Surti, dildo itu dimasukkannya lagi ke nonokku. Dia pompakan ke
dalamnya menggantikan kocokan jari-jariku. Kemudian nafsuku mendorongku
untuk meraih nonok Bu Retno. Aku menyedot seluruh cairan birahinya.
Yang meleleh keluar dan jatuh ke seprei sutra ranjang, kusedot hingga
bersih. Dan dengan sensasi birahi yang melandaku dengan hebat,
keinginan kencingku kembali mendesak untuk tumpah keluar. Aku
menggelinjang mengangkat pantatku menjemput dildo di tangan Surti. Dan
di saat yang paling puncak, kutarik wajah Surti. Aku minta 'imbalan'
yang sama atas apa yang telah kuberikan padanya.
"Surtii, ludahi mulutku, ayyoo Surtii.."
Ternyata bukan hanya Surti, melainkan Bu Retno juga langsung
merunduk ke wajahku. Gumpalan-gumpalan liurnya yang terkumpul di
bibirnya diludahkannya ke mulutku, bergantian dengan ludah Surti yang
juga terus menghujaniku. Aku merasa sangat tersanjung. Sepertinya
mereka berdua memanjakanku. Mereka berdua melayaniku untuk meraih
kepuasan nafsu birahiku. Dan akibatnya rasa kencingku serasa meledak,
tumpah ruah. Kulihat Bu Retno dan Surti berebut untuk mengisap nonokku.
Suara-suara geraman mereka seperti serigala-serigala yang berebut
makanan. Serigala-sergala betina yang kelaparan. Dan kini, aku sendiri
telah mengalami "metamorphose", telah berubah menjadi salah satu
kawanan mereka.
Beberapa saat kemudian kami terlena di kamar tidur Bu Retno yang
ber-AC dingin itu. Kami baru terbangun saat pelayan Bu Retno memberi
tahu bahwa makan siang sudah terhidang di ruang makan. Kami sepakat
untuk mandi sebentar, merapikan pakaian dan bersama-sama turun. Jam
telah menunjukkan pukul 12.20 siang. Di meja makan, Bu Retno
mengingatkan beberapa "point" materi yang perlu disampaikan dalam
pertemuan bersama ibu-ibu pada pukul 4 sore nanti. Semua point itu
menjadi catatan Surti selaku sekretaris boss, untuk menjadi
perhatiannya. Dan aku ternyata tidak perlu melakukan apa-apa, karena
semua masalah sudah dapat diselesaikan oleh pengurus yang lain.
Setelah selesai makan siang, Bu Retno mengisyaratkan pada pelayan
yang juga merangkap sebagai kepala rumah tangganya agar tidak menerima
telepon sampai dengan pukul 3 sore nanti. Pesannya, kami bertiga harus
segera menyelesaikan tugas-tugas penting di kamar Bu Retno. Ah,
ternyata belum juga kenyang makan siang para serigala betina ini.
Sebelum beranjak kembali ke kamar beliau, Bu Retno memberikanku minuman
sehat dalam kemasan botol seperti minuman sehat yang banyak beredar
itu.
"Jeng, ini buatan Amerika, minumlah. Aku secara rutin minum ini
untuk menjaga staminaku. Aku juga sudah memberikannya pada Surti. Kalau
Jeng Marini suka, nanti akan selalu kusediakan buat Jeng".
"Tapi jangan kaget Jeng, kalau nanti sehabis minum ini Jeng Marini
merasa ngantuk sekali. Tetapi itu hanya sebentar. Sesudah itu Jeng
Marini akan segar kembali, bahkan akan merasa sangat bergairah".
"Dan Jeng, nanti Jeng Marini akan pipis banyak sekali. Itu berarti
ginjal Jeng berfungsi dengan baik, mencuci segala kotoran untuk dibuang
menjadi air seni yang banyak itu".
Aku percaya saja dengan perkataan Bu Retno. Kuterima pemberian Bu
Retno. Kuamati sebentar kemasannya sebelum kuminum habis hingga tetes
terakhir. Bu Retno secara konsisten dan konsekuen tetap sedemikian
memperhatikanku sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Hal-hal yang
telah terjadi pada hari ini sama sekali tak mempengaruhinya.
Sementara itu Surti menyenggolku dan bertanya.
"Aku kok nggak dikasih tahu sih, kapan si Satpam itu kontrol rumah Mbak Marini?".
Dia mulai dengan tersenyum dan mengakhirinya dengan terbahak. Bu
Retno yang mendengarnya dari seberang meja melepas senyum manisnya.
Selesai makan siang, Bu Retno mengajak kami untuk duduk di taman
beranda kamarnya di lantai 2. Ternyata taman itu sangat luas dan indah.
Dibangun di atas beton di lantai 2, taman itu diisi tanaman yang indah
penuh bunga. Masuk ke taman itu serasa berada di pedesaan. Ada air
gemericik yang jatuh dari bebatuan, ada kolam ikan mas. Dan di taman
itu Bu Retno bisa berjemur matahari dengan telanjang tanpa harus
khawatir dilihat orang. Di sekeliling taman dibangun tembok tinggi.
Tetapi berkat penutup tanaman rambat yang subur, tembok itu tidak
terasa membatasi pandangan.
Kami memilih duduk di bawah payung taman itu. Kepalaku terasa
ringan melayang. Aku ingat minuman buatan Amerika tadi. Rupanya efeknya
sedang berproses dalam tubuhku. Aku mengantuk sekali dan aku juga
merasakan keinginan akan adanya seseorang yang memeluk dan membelaiku.
Aku jadi teringat akan semua kenikmatan yang baru saja kualami bersama
Bu Retno dan Surti. Aku ingat betapa nikmatnya saat tangan-tangan
mereka menjamah buah dadaku. Aku ingat betapa nikmatnya lidah-lidah
mereka menjilati ketiakku. Aku ingat betapa nikmatnya saat dildo itu
menyodok saraf-saraf peka di vaginaku. Aku juga ingat betapa nikmatnya
saat-saat menjelang orgasme. Aku ingat wajah Surti yang menyeringai
dilanda kenikmatan birahi yang diperoleh dari jilatan Bu Retno di
nonoknya. Aku juga teringat saat aku menjilati anus Bu Retno dan
mencium aromanya. Ahh.., aku sedikit limbung.
Sekarang, tiba-tiba aku telah dalam keadaan telanjang bulat. Tetapi
aku tidak ingat, sejak kapan aku telanjang. Aku juga tidak ingat siapa
yang telah melepas pakaianku. Aku juga tidak ingat, bagaimana bisa aku
berada dan telentang di bangku taman yang tipis ini, dengan kedua
kakiku yang mengangkang ke kanan dan ke kiri pada dudukan bangku yang
tipis itu, terjuntai ke tanah. Yang kini dapat kurasakan hanyalah
lumatan-lumatan lembut di bibirku. Aku juga merasakan ada lidah yang
sedang menjilati nonokku.
Kurasakan kenikmatan yang tak terkira. Aku merasa seakan terbang
jauh. Aku sepertinya terbang tinggi. Kurasakan saraf-sarafku
menggelinjang di sekujur tubuhku. Aku merasakan keinginan yang amat
sangat akan adanya seseorang yang bersedia menciumi seluruh pori-pori
tubuhku. Aku tahu mataku agak berat untuk dibuka. Tetapi aku memang tak
ada keinginan untuk membuka mataku. Kenikmatan lumatan di bibir dan
jilatan di kemaluanku akan terasa lebih nikmat kurasakan dalam keadaan
mataku yang setengah tertutup ini. Aku mendengar suara desahan, kucoba
mengingat suara siapa itu. Kemudian aku juga mendengar suara rintihan,
aku mencoba mengingat siapa yang merintih itu.
Kini, pelan-pelan kurasakan ada cahaya. Aku mulai ingat. Aku
bersama Bu Retno dan Surti pergi ke taman ini. Dimanakah mereka saat
ini? Apakah mereka yang kini sedang melumati bibir dan menjilati
nonokku? Apakah desahan itu desahan Surti. Dan rintihan itu rintihan Bu
Retno? Rasa gatalku memusat ke selangkanganku di mana seseorang tengah
asyik menjilat nonokku. Kegatalan itu coba kutepis dengan
mengangkat-angkat pantatku. Aku ingin agar jilatan lidah itu lebih
merasuk ke dalam lagi. Aku ingin agar jilatan itu menyentuh hingga
dinding vaginaku. Kemudian aku juga merasakan tenggorokanku yang sangat
kering. Dan aku dilanda rasa haus yang sangat. Aku berusaha
menguranginya. Aku coba membalas lumatan lembut di bibirku. Aku
berusaha menyedot air liur dari bibir yang tengah melumatku itu.
Kemudian saat seluruh tubuhku akhirnya tak mampu lagi menahan
kehausan yang amat sangat tersebut, kucoba meringankannya dengan
merintih dan mendesah. Aku mencoba terus merintih dan mendesah.
Kini, aku semakin dapat mengingat. Desahan itu adalah desahan Surti
yang sedang melumat bibirku. Dan di bawah sana adalah rintihan Bu Retno
yang sedang menjilati kemaluanku. Ah, rupanya mereka sedang berpesta
menikmati tubuhku.
Rasa kantuk yang sangat berat itu rupanya hanya gejala awal dari
minuman pemberian Bu Retno yang mempengaruhi tubuhku. Kini aku
merasakan hal yang lain. Kantukku pelan-pelan menghilang. Kini aku juga
ingin berpesta bersama mereka. Kini aku ingin berpesta menjilati nonok
Bu Retno dan melumati buah dada Surti. Aku mencoba untuk bangun. Tetapi
aku belum bisa. Surti mulai melumat buah dada dan puting payudaraku.
Tangannya memeluk dan mengelus-elus pinggulku. Desahannya makin
terdengar jelas di telingaku.
"Duh, Mbak Marini, payudaramu sangat nikmat..".
Bu Retno meninggalkan cupang-cupang di sekujur pahaku. Tangannya mengelus bokongku. Rintihannya makin jelas di telingaku,
"Jeng Marini.., aku sudah lama mengimpikan seperti ini.., sudah
lama ingin menjilati vaginamu.., sudah lama aku ingin agar kamu pasrah
padaku, untuk kujilati.., untuk kulumat.., untuk kukecup seluruh
tubuhmu".
Seharusnya aku yang berkata begitu, karena aku juga sudah lama
menginginkan saat-saat seperti ini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku.
Kuraih kepala Bu Retno di selangkanganku. Kutarik rambutnya dan
kuremas. Pantatku terus menggelinjang naik turun. Rupanya dengan
mengangkang di bangku taman yang tipis dan dengan kakiku yang berjuntai
ke tanah membuat lubang nonokku terkuak merekah. Lidah Bu Retno tak
perlu bersusah payah lagi untuk menembus ke dalamnya. Sedari tadi Bu
Retno belum bergeser dari lubang yang terkuak itu. Dia ingin
mengeringkan dengan lidahnya semua cairan dan lendir birahiku yang
kurasakan mulai hadir di vaginaku.
Tanganku yang lain kucoba untuk mengelus kepala Surti yang kini
tengah berada di atas bukit buah dadaku. Ciuman dan jilatannya pada
payudaraku dan puting-putingnya membuat saraf-saraf peka di sekujur
tubuhku seakan mendapat giliran terkena aliran stroom ribuan watt. Aku
menggelinjang dengan hebat. Aku berontak dari ketidakberdayaanku. Aku
kembali memiliki kekuatanku. Aku kembali memiliki
keinginan-keinginanku. Aku kembali merasakan sepenuhnya gelegak
birahiku. Aku kembali ingin meraih kepuasan orgasmeku. Aku kembali
ingin menyetubuhi perempuan-perempuan ini.
Kutolak tubuh Surti dari buah dadaku dan kutarik kembali agar dia
mengangkang di atas tubuhku yang masih telentang di bangku tipis ini.
Surti melangkahkan paha kanannya menyeberangi tubuhku. Kini dia
berposisi setengah berdiri dengan nonoknya berada tepat dia atas
wajahku. Tak ayal lagi aku bergetar menyambutnya. Kubenamkam mulutku ke
nonoknya yang terkuak merekah lebar itu dan kusedot isinya. Cairan
birahinya kujilati dengan penuh kerakusan. Kini tangan-tangan Surti
berganti meraih kepalaku, menariknya agar jilatanku lebih meruyak dalam
ke liang vaginanya. Aku dan Surti bersama-sama menjadi histeris. Aku
mendesah liar sementara Surti merintih dan mengaduh-aduh tak
terkendali. Pantatnya dinaik-turunkan layaknya sedang memperkosa
mulutku. Aku meremas dan menghunjamkan kuku-kukuku ke daging pahanya.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku agar dapat meraih lebih banyak lendir
vagina di selangkangannya. Aku diburu nafsuku. Aku diburu ledakan
birahiku. Kenikmatan yang teramat sangat dahsyat.
Ke bagian 7
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1883